RASIS! PENGKHIANAT! MISKIN MORAL!

20150820 Launching Buku SID 20 tahun - Rudolf Dethu_ANG_9481

Rasis – Pengkhianat – Miskin Moral: SID Book Launch by Rudolf Dethu

Awal tahun 2003 di Surabaya, mereka pernah dilempari botol, air kencing dibungkus plastik, kursi, ember saat trio Superman Is Dead bermain di atas panggung tanpa barikade dan petugas keamanan yang hanya sedikit. Dianggap band eksklusif, banyak permintaan yang ribet, pengkhianat genre musik punk yang anti mapan karena masuk major label hingga isu anti jawa yang hampir mematahkan semangat bermusik Bobby, Jerinx dan Eka.

Continue reading

Catatan Pameran “Air Dalam Simbol”

20150820 DFF Air - Instalasi Pameran Air Dalam Simbol_ANG_2467

Mas Agus melihat-lihat karya foto “Terbalik” milik Johannes P. Christo

Simbol

Saya selalu kagum bagaimana orang Bali menginterpretasikan simbol semesta dalam gerak, suara, visual, konsep, filosofi dan ritual. Warna yang dinamis, bentuk persembahan bagaikan instalasi seni yang dikerjakan setiap hari oleh pemujanya yang memiliki kedalaman makna. Semua tampak eksotis hingga dianggap menjadi surga terakhir bagi para pelancong dari negeri lain. Begitu terkenal dan mendunia, melebihi negara asalnya, Indonesia.

Mengutip dari catatan Cok Sawitri (penulis, seniman, budayawan dan kawan baik) POTRET BALI MASA KINI DI ‘MEDAN TEMPUR SIMBOLIK’ dengan pertanyaan/ kegelisahannya:

  • Bagaimana kemudian hamburan hasil jepretan tukang potret di era digital, yang berupaya membawa potret-potretnya itu terbebas dari sekedar membekukan memori pribadi menjadi alat komunikasi yang berdampak luas ?
  • Menjadi duta gagasan-gagasan mengenai problem kehidupan yang dihadapi Bali ?
*catatan Cok Sawitri selengkapnya bisa dibaca disini : https://anggaramahendra.wordpress.com/2015/08/20/catatan-cok-sawitri-pada-pameran-air-dalam-simbol/

Kita cenderung masuk dalam buaian warna-warni Bali, eksotisme visual yang menggoda sehingga lupa untuk bercerita. Sudah berapa banyak perubahan yang terjadi? Apa kita sudah cukup baik mendokumentasikannya?

Continue reading

Catatan Cok Sawitri Pada Pameran “Air Dalam Simbol”

Cok Sawitri sebelum mementaskan Arja Siki di Festival Nusantara, Batur, 16/08/15

Cok Sawitri sebelum mementaskan Arja Siki di Festival Nusantara, Batur, 16/08/15

POTRET BALI MASA KINI DI ‘MEDAN TEMPUR SIMBOLIK’

Cok Sawitri

Potret! Bagi tukangnya diyakini dapat menyampaikan perasaan-perasaan terdalam dari suatu peristiwa. Menjadi bentuk komunikasi penting dalam kemasakinian. Peristiwa adalah proses meluas, tidak henti pada detik pembekuan sebagai sebuah potret. Tantangannya mungkin terletak di sana: pada pembekuan peristiwa, bagi tukang potret yang hendak mendorong potret memasuki jajaran karya seni, menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan kedalaman dibalik sebuah peristiwa. Potret adalah medan tempur bagi para tukangnya.

Di era digital saat ini, seni memotret dan potret seni memasuki fase kerumitan untuk dipahami, sama rumitnya dengan pasar saham dalam hubungan globalisasi. Dengan cepat perpindahan potret dari satu tempat lain,wilayahkewilayahyangberpencardapat terjadi dalam hitungan detik melalui jaringan internet. Kemudahan memiliki peralatan memotret menghadirkan kemudian barisan potret yang jumlahnya berpindah tidak lagi dalam hitungan puluhan menit ataukah jam, namun dapat terjadi dalam sedetik memasuki jumlahribuandidepanmataseseorangyang tengah berada di kamar pribadinya.

Bali sejak abad 18-an telah bersentuhan dengan tukang potret. Potret-potret mengenai Bali di masa lampau dari jepretan

pelanconganpenelitidanwartawankalaitu yang mendapat kesempatan mengunjungi daerah-daerah jajahan dalam koloni-koloni, menghasilkan potret-potret yang bicara apa saja mengenai Bali dari era lampau. Dibaca pada era masa kini dengan pengamatan individual melalui persebaran jaringan media sosial. Satu sifat reaksi yang lahir dari era digital adalah lahirnya keanekaragaman tanggapan. Hingga derajat tertentu, muncul pertanyaan bagaimana penghargaan upaya- upaya dikelampauan untuk menyampaikan peristiwa di sebuah pulau kecil, kini dibaca oleh generasi masa kininya, yang juga kini dapat kekuatan yang sama mendistribusikan potret mengenai Bali dalam berbagai rupa dan kejadian dalam kecepatan sama (?)

Bali masa kini dalam potret terbentang luas memberi kesempatan untuk diamati sebagai pertanda kebebasan untuk berbagi, menggambarkan dan kesiapan untuk dalam tanggapan-tanggapan yang beragam. Umumnya tukang potret dari era “hitam putih’, dengan kamera manual, memberi ingatan bagi masyarakat adalah betapa jayanya jenis ‘pas photo’ dari masa ke masa, menjadi salah satu gambar yang dibaca secara serentak memberi gambaran bahwa potret setengah badan ini memasuki wilayah peristiwa legalisasi dari KTP, Ijazah, Akte perkawinan, menjadi kelengkapan

Continue reading