Nomor urut sudah didapatkan. Wayan Koster dan Cok Ace mendapat nomor urut 1, sedangkan Rai Mantra dan Ketut Sudikerta di nomor 2. 2 pasangan ini berlomba menjadi nomor 1 di Bali. Nomor 1 untuk 2 orang.
Everyday Bali
Bali dalam hidup kesehariannya. Sederhana untuk kita yang sehari-hari berada di Bali, tapi bisa jadi menarik untuk yang berada di luar Bali.
Saya Tidak Benci Teroris

“Agama saya tidak pernah mengajarkan kebencian,” ujar Yayuk.
Dia menjawab ketika ditanya apa ia membenci teroris yang membuat tubuhnya mengalami luka bakar permanen. Ngesti Puji Rahayu akrab dipanggil Yayuk lahir di Jember pada tahun 1962. Dia salah satu korban langsung bom Bali I pada 12 Oktober 2002.
Saat kejadian ia tengah bersama teman-temannya di Paddys Club untuk bersenang-senang. Rencana menghibur hati justru berubah tragedi ketika bom meledak dan mengempaskan tubuhnya beberapa meter hingga dekat DJ booth.
Ia sempat tidak sadarkan diri. Ketika terbangun di sekitarnya sudah banyak tumpukan manusia dan orang-orang panik. Beberapa di antaranya berteriak “panas! panas!”

Singkat cerita setelah kejadian itu, Yayuk dibawa ke ICU dan sempat dikira sudah meninggal karena kondisi fisiknya yang cukup parah. Bahkan ia sudah sampai dimandikan saat di kamar jenazah. Untungnya saat itu Yayuk siuman dan ditolong oleh Yayasan Kemanusiaan Ibu Pertiwi (YKIP) yang membawanya terbang ke Australia untuk operasi seluruh tubuhnya.
Sejak operasi pertamanya tahun 2002, ia tidak boleh terkena matahari langsung karena kulit yang sudah terbakar tidak lagi memiliki lapisan kulit pelindung seperti kita yang masih normal. Biasanya ia akan merasakan gatal yang luar biasa jika terpapar sinar matahari langsung dan intensitas cukup lama.
Pada 2003 operasi Yayuk dilanjutkan di Rumah Sakit Royal Perth, Australia pada bagian telinganya. Kemudian di 2009 tangannya kembali dioperasi karena sudah terlalu banyak keloid yang tumbuh sehingga susah untuk berada pada posisi lurus. Sebagian besar operasi yang dilakukannya adalah permasalahan keloid yang tumbuh sejak tubuhnya mengalami luka bakar.

Tragedi yang menimpanya membuat Yayuk berpindah kepercayaan dari Islam ke Kristen. Alasannya karena dalam proses pengobatan dan penyembuhan ia banyak ditolong oleh umat Kristen yang membuatnya yakin untuk mengubah kepercayaan.
Saat ini Yayuk menjalani hidup barunya dengan bekerja sebagai asisten di villa milik ekspatriat Jerman di daerah Krobokan. Tugasnya dimulai dari pagi hingga 3.30 sore dengan menyapu, menyiram, mencuci pakaian dan memberi makan dua anjing lokal milik pemiliknya.










2 tahun (hampir)
Post terakhir di blog ini Agustus (hampir) 2 tahun lalu.
Banyak hal baru dikerjakan sepulang workshop Permata Photojournalist Grant 2014 dan pameran-nya di 2015. Perjalanan pulang bersama Si Kemot yang menghasilkan segudang cerita yang berakhir di dunia maya dan hardisk. Rencana membukukan perjalanan pun tertunda dengan segudang alasan.
Kumpulan alasan yang akhirnya menjadi kerak dan menyumbat isi otak. Seringkali aktifitas memotret malah menjadi “template” karena merasa sudah mengerti bagaimana membuat foto yang bagus. Hanya foto bagus yang bisa dipakai untuk keperluan media, atau klien. Kreatifitas yang digerakkan oleh passion, idealisme dan rasa ingin tahu perlahan terkikis.
Interpretasi Visual “Suci”
“Suci itu untuk bisa merasa tenang dan bebas”, ujar Pande Kadek Heryana dengan karya foto rombongan orang bersembahyang melintasi laut dengan jukung.
RASIS! PENGKHIANAT! MISKIN MORAL!
Rasis – Pengkhianat – Miskin Moral: SID Book Launch by Rudolf Dethu
Awal tahun 2003 di Surabaya, mereka pernah dilempari botol, air kencing dibungkus plastik, kursi, ember saat trio Superman Is Dead bermain di atas panggung tanpa barikade dan petugas keamanan yang hanya sedikit. Dianggap band eksklusif, banyak permintaan yang ribet, pengkhianat genre musik punk yang anti mapan karena masuk major label hingga isu anti jawa yang hampir mematahkan semangat bermusik Bobby, Jerinx dan Eka.
Catatan Pameran “Air Dalam Simbol”
Simbol
Saya selalu kagum bagaimana orang Bali menginterpretasikan simbol semesta dalam gerak, suara, visual, konsep, filosofi dan ritual. Warna yang dinamis, bentuk persembahan bagaikan instalasi seni yang dikerjakan setiap hari oleh pemujanya yang memiliki kedalaman makna. Semua tampak eksotis hingga dianggap menjadi surga terakhir bagi para pelancong dari negeri lain. Begitu terkenal dan mendunia, melebihi negara asalnya, Indonesia.
Mengutip dari catatan Cok Sawitri (penulis, seniman, budayawan dan kawan baik) POTRET BALI MASA KINI DI ‘MEDAN TEMPUR SIMBOLIK’ dengan pertanyaan/ kegelisahannya:
- Bagaimana kemudian hamburan hasil jepretan tukang potret di era digital, yang berupaya membawa potret-potretnya itu terbebas dari sekedar membekukan memori pribadi menjadi alat komunikasi yang berdampak luas ?
- Menjadi duta gagasan-gagasan mengenai problem kehidupan yang dihadapi Bali ?
*catatan Cok Sawitri selengkapnya bisa dibaca disini : https://anggaramahendra.wordpress.com/2015/08/20/catatan-cok-sawitri-pada-pameran-air-dalam-simbol/
Kita cenderung masuk dalam buaian warna-warni Bali, eksotisme visual yang menggoda sehingga lupa untuk bercerita. Sudah berapa banyak perubahan yang terjadi? Apa kita sudah cukup baik mendokumentasikannya?
Catatan Cok Sawitri Pada Pameran “Air Dalam Simbol”
POTRET BALI MASA KINI DI ‘MEDAN TEMPUR SIMBOLIK’
Potret! Bagi tukangnya diyakini dapat menyampaikan perasaan-perasaan terdalam dari suatu peristiwa. Menjadi bentuk komunikasi penting dalam kemasakinian. Peristiwa adalah proses meluas, tidak henti pada detik pembekuan sebagai sebuah potret. Tantangannya mungkin terletak di sana: pada pembekuan peristiwa, bagi tukang potret yang hendak mendorong potret memasuki jajaran karya seni, menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan kedalaman dibalik sebuah peristiwa. Potret adalah medan tempur bagi para tukangnya.
Di era digital saat ini, seni memotret dan potret seni memasuki fase kerumitan untuk dipahami, sama rumitnya dengan pasar saham dalam hubungan globalisasi. Dengan cepat perpindahan potret dari satu tempat lain,wilayahkewilayahyangberpencardapat terjadi dalam hitungan detik melalui jaringan internet. Kemudahan memiliki peralatan memotret menghadirkan kemudian barisan potret yang jumlahnya berpindah tidak lagi dalam hitungan puluhan menit ataukah jam, namun dapat terjadi dalam sedetik memasuki jumlahribuandidepanmataseseorangyang tengah berada di kamar pribadinya.
Bali sejak abad 18-an telah bersentuhan dengan tukang potret. Potret-potret mengenai Bali di masa lampau dari jepretan
pelanconganpenelitidanwartawankalaitu yang mendapat kesempatan mengunjungi daerah-daerah jajahan dalam koloni-koloni, menghasilkan potret-potret yang bicara apa saja mengenai Bali dari era lampau. Dibaca pada era masa kini dengan pengamatan individual melalui persebaran jaringan media sosial. Satu sifat reaksi yang lahir dari era digital adalah lahirnya keanekaragaman tanggapan. Hingga derajat tertentu, muncul pertanyaan bagaimana penghargaan upaya- upaya dikelampauan untuk menyampaikan peristiwa di sebuah pulau kecil, kini dibaca oleh generasi masa kininya, yang juga kini dapat kekuatan yang sama mendistribusikan potret mengenai Bali dalam berbagai rupa dan kejadian dalam kecepatan sama (?)
Bali masa kini dalam potret terbentang luas memberi kesempatan untuk diamati sebagai pertanda kebebasan untuk berbagi, menggambarkan dan kesiapan untuk dalam tanggapan-tanggapan yang beragam. Umumnya tukang potret dari era “hitam putih’, dengan kamera manual, memberi ingatan bagi masyarakat adalah betapa jayanya jenis ‘pas photo’ dari masa ke masa, menjadi salah satu gambar yang dibaca secara serentak memberi gambaran bahwa potret setengah badan ini memasuki wilayah peristiwa legalisasi dari KTP, Ijazah, Akte perkawinan, menjadi kelengkapan
Solidaritas Jurnalis Bali
Berada di peristiwa yang penting atau bersejarah dan membuat catatan dalam bentuk kata atau visual menurut saya adalah hal yang keren. Catatan penting di hari ini dan menjadi lebih berharga di kemudian hari karena kita berada di dalam cerita itu.
Dunia Tanpa Batas
Internet mengubah pola hidup manusia, termasuk bagaimana cara berinteraksi satu manusia ke manusia lainnya.
Saya tidak menggunakan pepatah “malu bertanya sesat di jalan” saat bepergian jauh, karena sekarang sudah ada smartphone, Google Maps dan koneksi internet. Peralatan canggih ini berhasil membawa saya menempuh 1300 kilometer perjalanan Bali – Jakarta dengan motor tua keluaran tahun 73.
Catatan dari Pulau
Sejak membantu Mangku Buda di pulau Nusa Penida, Bali membuat buku “Babad Nusa Penida”, saya percaya selalu ada pesan dalam setiap perjalanan. Pesan yang tersembunyi dari tempat dan karakter tertentu yang ditemui, tergantung dari kepekaan kita merespon ‘pesan’ nya.
Kami Gila!
Perjalanan 1200-an kilometer dari Bali – Jakarta bersama Si Kemot seperti menjadi syarat khusus bagi orang lain menyandangkan gelar “gila” pada saya. Bagaimana tidak, motor berumur 40 tahunan masih saya bawa berkeliling melintasi jalur Pantura bersama truk, bis dan kendaraan lainnya. Satu harinya menempuh 350-450 kilometer.
Aku Disini
Kaki bersila dengan tangan kiri menapak lantai bermotif bunga yang trendi di masanya. Menenggak air beraroma lemon dan alkohol pemberian Bang Oscar yang sukses ‘menggoyang’ duniaku.
“Yah… aku disini…”
Berbagai cerita visual yang disuguhkan dalam gedung lama bernafas baru sebagai galeri foto kulewatkan begitu saja. Dulu ada 1200-an kilometer yang memisahkan, tapi detik ini, aku ada disana menikmati catatan visual “Perjalanan ke Tanah Leluhur Danau Sentarum”.
Catatan Visual
Selamat datang di Rimba
Otak dipenuhi oleh impian-impian yang terwujud begitu saja di pulau yang terkenal dengan matahari terbenamnya.
Lupa diri, lalu kesulitan beranjak dari sofa yang sangat empuk.
Kaki terasa berat, tangan sulit menggapai tantangan yang dulunya menyenangkan.
Lalu, alam bawah sadar mulai bangkit dan tidak memberi banyak waktu untuk berpikir.
Potret Pak Atim
Matanya berbinar, bibirnya mulai memperlihatkan gigi kecoklatannya. Dia tersenyum memandang lembaran kertas foto berukuran 13×9 cm yang baru saja kuberikan. Disana aku merekam potret Pak Atim yang duduk diatas motor Honda tahun 70-an dengan latar belakang dua motor bertipe sama, tapi beda warna.
Foto ini kuambil beberapa hari yang lalu saat Kemot, Honda tahun 70-an ku berkenalan dengannya oleh bantuan Igun, sahabat motor tua. Entah kenapa semakin mengenal fotografi dan bergelut didalamnya justru membuat banyak kekosongan dalam diri. Mungkin karena jenuh, atau kepuasan mendapatkan foto bagus sudah tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Fotografi ku tidak memberikan dampak atau manfaat untuk orang lain!
Tapi saat memotret Pak Atim dan mendengar “terima kasih” yang terucap dari mulutnya, ada kepuasan yang lebih! Foto 3R itu dilihatnya seperti harta karun, dipegangnya dengan erat dan antusias.
Dalam hati aku hanya bisa mengucap terima kasih” yang lebih besar. Bukan hanya karena Pak Atim rela hingga pukul 10 malam didepan bengkelnya menungguku mengambil si Kemot yang sudah selesai diperbaiki, namun karena senyum dan tatapan matanya yang memberiku energi positif.
Sudah seberapa banyak fotografi ini berguna untuk orang lain? Setidaknya untuk membuat orang lain tersenyum…