Everyday Bali

Bali dalam hidup kesehariannya. Sederhana untuk kita yang sehari-hari berada di Bali, tapi bisa jadi menarik untuk yang berada di luar Bali.

Continue reading

Saya Tidak Benci Teroris

Potret Ngesti Puji Rahayu atau Yayuk di tempat kerjanya di jalan Teuku Umar Denpasar pada tahun 2012 sebagai asiten rumah tangga. Yayuk berpose dengan potret dirinya sebelum mengalami tragedi Bom Bali. Foto: Anggara Mahendra

“Agama saya tidak pernah mengajarkan kebencian,” ujar Yayuk.

 

Dia menjawab ketika ditanya apa ia membenci teroris yang membuat tubuhnya mengalami luka bakar permanen. Ngesti Puji Rahayu akrab dipanggil Yayuk lahir di Jember pada tahun 1962. Dia salah satu korban langsung bom Bali I pada 12 Oktober 2002.

Saat kejadian ia tengah bersama teman-temannya di Paddys Club untuk bersenang-senang. Rencana menghibur hati justru berubah tragedi ketika bom meledak dan mengempaskan tubuhnya beberapa meter hingga dekat DJ booth.

Ia sempat tidak sadarkan diri. Ketika terbangun di sekitarnya sudah banyak tumpukan manusia dan orang-orang panik. Beberapa di antaranya berteriak “panas! panas!”

Yayuk menjelaskan bagaimana proses operasi sejak tahun 2002 di Australia yang membuat luka permanen di tubuhnya. Foto: Anggara Mahendra

Singkat cerita setelah kejadian itu, Yayuk dibawa ke ICU dan sempat dikira sudah meninggal karena kondisi fisiknya yang cukup parah. Bahkan ia sudah sampai dimandikan saat di kamar jenazah. Untungnya saat itu Yayuk siuman dan ditolong oleh Yayasan Kemanusiaan Ibu Pertiwi (YKIP) yang membawanya terbang ke Australia untuk operasi seluruh tubuhnya.

Sejak operasi pertamanya tahun 2002, ia tidak boleh terkena matahari langsung karena kulit yang sudah terbakar tidak lagi memiliki lapisan kulit pelindung seperti kita yang masih normal. Biasanya ia akan merasakan gatal yang luar biasa jika terpapar sinar matahari langsung dan intensitas cukup lama.

Pada 2003 operasi Yayuk dilanjutkan di Rumah Sakit Royal Perth, Australia pada bagian telinganya. Kemudian di 2009 tangannya kembali dioperasi karena sudah terlalu banyak keloid yang tumbuh sehingga susah untuk berada pada posisi lurus. Sebagian besar operasi yang dilakukannya adalah permasalahan keloid yang tumbuh sejak tubuhnya mengalami luka bakar.

Yayuk berganti agama dari Islam ke Kristen karena pada proses pengobatan dan penyembuhannya banyak dibantu umat Kristen. Foto: Anggara Mahendra

Tragedi yang menimpanya membuat Yayuk berpindah kepercayaan dari Islam ke Kristen. Alasannya karena dalam proses pengobatan dan penyembuhan ia banyak ditolong oleh umat Kristen yang membuatnya yakin untuk mengubah kepercayaan.

Saat ini Yayuk menjalani hidup barunya dengan bekerja sebagai asisten di villa milik ekspatriat Jerman di daerah Krobokan. Tugasnya dimulai dari pagi hingga 3.30 sore dengan menyapu, menyiram, mencuci pakaian dan memberi makan dua anjing lokal milik pemiliknya.

Yayuk pada tahun 2012 ketika bekerja sebagai asisten rumah tangga di jalan Teuku Umar, Denpasar. Foto: Anggara Mahendra
Keseharian Yayuk yang sudah lebih dari 2 tahun bekerja sebagai asisten di vila milik ekspatirat asal Jerman di Krobokan, Bali. Tugas utamanya mengurusi kebersihan vila, memberi makan anjing dan menyiram tanaman di vila. Foto: Anggara Mahendra
Keseharian Yayuk yang sudah lebih dari 2 tahun bekerja sebagai asisten di vila milik ekspatirat asal Jerman di Kerobokan, Bali. Tugas utamanya mengurusi kebersihan villa, memberi makan anjing dan menyiram tanaman di villa. Foto: Anggara Mahendra
Keseharian Yayuk yang sudah lebih dari 2 tahun bekerja sebagai asisten di vila milik ekspatirat asal Jerman di Kerobokan, Bali. Tugas utamanya mengurusi kebersihan vila, memberi makan anjing dan menyiram tanaman di vila. Foto: Anggara Mahendra
Yayuk tidak memiliki kendaraan sendiri dan sering menggunakan jasa transportasi umum untuk mobilitasnya. Foto: Anggara Mahendra
Suasana Ground Zero di jalan Legian, Kuta, Bali – Indonesia saat peringatan 14 tahun Bom Bali. Foto: Anggara Mahendra
Yayuk bersama teman lainnya yang tergabung dalam Isana Dewata (Istri Anak dan korban Bom Bali) – yayasan non profit yang menaungi para korban bom bali untuk kesehatan fisik dan mental mereka. Foto: Anggara Mahendra
Buku memorial yang disediakan Yayasan Isana Dewata untuk menulis harapan dan doa untuk korban tragedi Bom Bali. Foto: Anggara Mahendra
Canang (persembahan Hindu Bali), bir, karangan bunga dipersembahkan di Monumen Ground Zero untuk memberi penghormatan pada korban saat tragedi Bom Bali I dan II. Foto: Anggara Mahendra
Potret Ngesti Puji Rahayu atau akrab dipanggil Yayuk, salah satu korban langsung tragedi Bom Bali 2002. Ia mengalami luka bakar ketika berkunjung ke Paddys Club dan tubuhnya terlempar beberapa meter sampai ke booth DJ hingga tak sadarkan diri. Foto: Anggara Mahendra

Continue reading

2 tahun (hampir)

Post terakhir di blog ini Agustus (hampir) 2 tahun lalu.

Banyak hal baru dikerjakan sepulang workshop Permata Photojournalist Grant 2014 dan pameran-nya di 2015. Perjalanan pulang bersama Si Kemot yang menghasilkan segudang cerita yang berakhir di dunia maya dan hardisk. Rencana membukukan perjalanan pun tertunda dengan segudang alasan.

photo_2017-07-24_17-34-26.jpg

Kumpulan alasan yang akhirnya menjadi kerak dan menyumbat isi otak. Seringkali aktifitas memotret malah menjadi “template” karena merasa sudah mengerti bagaimana membuat foto yang bagus. Hanya foto bagus yang bisa dipakai untuk keperluan media, atau klien. Kreatifitas yang digerakkan oleh passion, idealisme dan rasa ingin tahu perlahan terkikis.

Continue reading

RASIS! PENGKHIANAT! MISKIN MORAL!

20150820 Launching Buku SID 20 tahun - Rudolf Dethu_ANG_9481

Rasis – Pengkhianat – Miskin Moral: SID Book Launch by Rudolf Dethu

Awal tahun 2003 di Surabaya, mereka pernah dilempari botol, air kencing dibungkus plastik, kursi, ember saat trio Superman Is Dead bermain di atas panggung tanpa barikade dan petugas keamanan yang hanya sedikit. Dianggap band eksklusif, banyak permintaan yang ribet, pengkhianat genre musik punk yang anti mapan karena masuk major label hingga isu anti jawa yang hampir mematahkan semangat bermusik Bobby, Jerinx dan Eka.

Continue reading

Catatan Pameran “Air Dalam Simbol”

20150820 DFF Air - Instalasi Pameran Air Dalam Simbol_ANG_2467

Mas Agus melihat-lihat karya foto “Terbalik” milik Johannes P. Christo

Simbol

Saya selalu kagum bagaimana orang Bali menginterpretasikan simbol semesta dalam gerak, suara, visual, konsep, filosofi dan ritual. Warna yang dinamis, bentuk persembahan bagaikan instalasi seni yang dikerjakan setiap hari oleh pemujanya yang memiliki kedalaman makna. Semua tampak eksotis hingga dianggap menjadi surga terakhir bagi para pelancong dari negeri lain. Begitu terkenal dan mendunia, melebihi negara asalnya, Indonesia.

Mengutip dari catatan Cok Sawitri (penulis, seniman, budayawan dan kawan baik) POTRET BALI MASA KINI DI ‘MEDAN TEMPUR SIMBOLIK’ dengan pertanyaan/ kegelisahannya:

  • Bagaimana kemudian hamburan hasil jepretan tukang potret di era digital, yang berupaya membawa potret-potretnya itu terbebas dari sekedar membekukan memori pribadi menjadi alat komunikasi yang berdampak luas ?
  • Menjadi duta gagasan-gagasan mengenai problem kehidupan yang dihadapi Bali ?
*catatan Cok Sawitri selengkapnya bisa dibaca disini : https://anggaramahendra.wordpress.com/2015/08/20/catatan-cok-sawitri-pada-pameran-air-dalam-simbol/

Kita cenderung masuk dalam buaian warna-warni Bali, eksotisme visual yang menggoda sehingga lupa untuk bercerita. Sudah berapa banyak perubahan yang terjadi? Apa kita sudah cukup baik mendokumentasikannya?

Continue reading

Catatan Cok Sawitri Pada Pameran “Air Dalam Simbol”

Cok Sawitri sebelum mementaskan Arja Siki di Festival Nusantara, Batur, 16/08/15

Cok Sawitri sebelum mementaskan Arja Siki di Festival Nusantara, Batur, 16/08/15

POTRET BALI MASA KINI DI ‘MEDAN TEMPUR SIMBOLIK’

Cok Sawitri

Potret! Bagi tukangnya diyakini dapat menyampaikan perasaan-perasaan terdalam dari suatu peristiwa. Menjadi bentuk komunikasi penting dalam kemasakinian. Peristiwa adalah proses meluas, tidak henti pada detik pembekuan sebagai sebuah potret. Tantangannya mungkin terletak di sana: pada pembekuan peristiwa, bagi tukang potret yang hendak mendorong potret memasuki jajaran karya seni, menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan kedalaman dibalik sebuah peristiwa. Potret adalah medan tempur bagi para tukangnya.

Di era digital saat ini, seni memotret dan potret seni memasuki fase kerumitan untuk dipahami, sama rumitnya dengan pasar saham dalam hubungan globalisasi. Dengan cepat perpindahan potret dari satu tempat lain,wilayahkewilayahyangberpencardapat terjadi dalam hitungan detik melalui jaringan internet. Kemudahan memiliki peralatan memotret menghadirkan kemudian barisan potret yang jumlahnya berpindah tidak lagi dalam hitungan puluhan menit ataukah jam, namun dapat terjadi dalam sedetik memasuki jumlahribuandidepanmataseseorangyang tengah berada di kamar pribadinya.

Bali sejak abad 18-an telah bersentuhan dengan tukang potret. Potret-potret mengenai Bali di masa lampau dari jepretan

pelanconganpenelitidanwartawankalaitu yang mendapat kesempatan mengunjungi daerah-daerah jajahan dalam koloni-koloni, menghasilkan potret-potret yang bicara apa saja mengenai Bali dari era lampau. Dibaca pada era masa kini dengan pengamatan individual melalui persebaran jaringan media sosial. Satu sifat reaksi yang lahir dari era digital adalah lahirnya keanekaragaman tanggapan. Hingga derajat tertentu, muncul pertanyaan bagaimana penghargaan upaya- upaya dikelampauan untuk menyampaikan peristiwa di sebuah pulau kecil, kini dibaca oleh generasi masa kininya, yang juga kini dapat kekuatan yang sama mendistribusikan potret mengenai Bali dalam berbagai rupa dan kejadian dalam kecepatan sama (?)

Bali masa kini dalam potret terbentang luas memberi kesempatan untuk diamati sebagai pertanda kebebasan untuk berbagi, menggambarkan dan kesiapan untuk dalam tanggapan-tanggapan yang beragam. Umumnya tukang potret dari era “hitam putih’, dengan kamera manual, memberi ingatan bagi masyarakat adalah betapa jayanya jenis ‘pas photo’ dari masa ke masa, menjadi salah satu gambar yang dibaca secara serentak memberi gambaran bahwa potret setengah badan ini memasuki wilayah peristiwa legalisasi dari KTP, Ijazah, Akte perkawinan, menjadi kelengkapan

Continue reading

Dunia Tanpa Batas

20150706 Smartfren Andromax Review_ANG_3978

Internet mengubah pola hidup manusia, termasuk bagaimana cara berinteraksi satu manusia ke manusia lainnya.

Saya tidak menggunakan pepatah “malu bertanya sesat di jalan” saat bepergian jauh, karena sekarang sudah ada smartphone, Google Maps dan koneksi internet. Peralatan canggih ini berhasil membawa saya menempuh 1300 kilometer perjalanan Bali – Jakarta dengan  motor tua keluaran tahun 73.

Continue reading

Kami Gila!

Kemot di Ibukota, Jakarta. Jumat (28/11/2014).

Perjalanan 1200-an kilometer dari Bali – Jakarta bersama Si Kemot seperti menjadi syarat khusus bagi orang lain menyandangkan gelar “gila” pada saya. Bagaimana tidak, motor berumur 40 tahunan masih saya bawa berkeliling melintasi jalur Pantura bersama truk, bis dan kendaraan lainnya. Satu harinya menempuh 350-450 kilometer.

Continue reading

Aku Disini

anggaramahendra_catatan visual_01

Kaki bersila dengan tangan kiri menapak lantai bermotif bunga yang trendi di masanya. Menenggak air beraroma lemon dan alkohol pemberian Bang Oscar yang sukses ‘menggoyang’ duniaku.

“Yah… aku disini…”

Berbagai cerita visual yang disuguhkan dalam gedung lama bernafas baru sebagai galeri foto kulewatkan begitu saja. Dulu ada 1200-an kilometer yang memisahkan, tapi detik ini, aku ada disana menikmati catatan visual “Perjalanan ke Tanah Leluhur Danau Sentarum”.

Continue reading

Selamat datang di Rimba

ANG20140228_jakarta_day 09_135

Otak dipenuhi oleh impian-impian yang  terwujud begitu saja di pulau yang terkenal dengan matahari terbenamnya.

Lupa diri, lalu kesulitan beranjak dari sofa yang sangat empuk.

Kaki terasa berat, tangan sulit menggapai tantangan yang dulunya menyenangkan.

Lalu, alam bawah sadar mulai bangkit dan tidak memberi banyak waktu untuk berpikir.

Continue reading

Potret Pak Atim

pak atim_02

Matanya berbinar, bibirnya mulai memperlihatkan gigi kecoklatannya. Dia tersenyum memandang lembaran kertas foto berukuran 13×9 cm yang baru saja kuberikan. Disana aku merekam potret Pak Atim yang duduk diatas motor Honda tahun 70-an dengan latar belakang dua motor bertipe sama, tapi beda warna.

pak atim_01

Foto ini kuambil beberapa hari yang lalu saat Kemot, Honda tahun 70-an ku berkenalan dengannya oleh bantuan Igun, sahabat motor tua. Entah kenapa semakin mengenal fotografi dan bergelut didalamnya justru membuat banyak kekosongan dalam diri. Mungkin karena jenuh, atau kepuasan mendapatkan foto bagus sudah tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Fotografi ku tidak memberikan dampak atau manfaat untuk orang lain!

pak atim_03

Tapi saat memotret Pak Atim dan mendengar “terima kasih” yang terucap dari mulutnya, ada kepuasan yang lebih! Foto 3R itu dilihatnya seperti harta karun, dipegangnya dengan erat dan antusias.

Dalam hati aku hanya bisa mengucap terima kasih” yang lebih besar. Bukan hanya karena Pak Atim rela hingga pukul 10 malam didepan bengkelnya menungguku mengambil si Kemot yang sudah selesai diperbaiki, namun karena senyum dan tatapan matanya yang memberiku energi positif.

Sudah seberapa banyak fotografi ini berguna untuk orang lain? Setidaknya untuk membuat orang lain tersenyum…