Jumat, 30 Maret 2012
Bersandar pada besi pembatas jembatan, mendengarkan suara knalpot kendaraan bersautan, pedagang hingga penjaja jasa berlalu lalang. Kenalkan si Kemot, Honda 73 ku yang sukses mengantarku jalan-jalan ke Jembatan di Pasar Badung ini. Terimakasih untuk mahasiswa sastra 2010 yang skripsinya kujadikan patokan skripsiku, Blackberry yang menemaniku twitteran, BBMan disaat demo BBM lagi hot dan sebuah Snowman drawing pen untuk menghiasi kertas skripsi itu.
“Kenapa Pasar Badung?”
Tanya beberapa teman melalui media sosial. Sederhana sih menurutku, belajar atau berusaha memahami sesuatu disebuah kotak tertutup dengan instalasi yang itu-itu aja seperti merantai imajinasi! Sebut saja ruang kelas, kamar sendiri atau kafe senyaman apapun membuat otak seperti terkotak-kotak.
Beda lagi dengan pasar, bersandar pada besi pembatas jembatan, memandang instalasi pedagang dan suara yang bersaut-sautan. Nggak ada satu orangpun yang peduli pada instalasi aneh seorang anak laki-laki dengan skripsinya, bahkan sesekali ngomong sendiri memberikan komentar seperti sedang berbicara pada orang lain (baca : nak buduh!). Merasakan hembusan udara sejuk malam yang kadang-kadang membawa aroma sampah dan sungai yang kotor, tapi nikmati saja kawan. Keragaman udara luar tanpa batasan membuat imajinasi tanpa batas dan membuatku lebih gampang fokus pada materi skripsi.
*Catatan mahasiswa veteran angkatan 2004.
2004 itu artinya 7 than yah ckckckckckckck
LikeLike
kalo anak-anak 7 taun uda bisa kayang tuh. hahaha..
LikeLike
ngegarap beginian memang paling oke di alam bebas……
LikeLike
setuju tom! rencana puputan badung sambil berlaptop, sejam yang efektif lebih dari cukup untuk mencicil skripsi 😀
LikeLike