2 tahun (hampir)

Post terakhir di blog ini Agustus (hampir) 2 tahun lalu.

Banyak hal baru dikerjakan sepulang workshop Permata Photojournalist Grant 2014 dan pameran-nya di 2015. Perjalanan pulang bersama Si Kemot yang menghasilkan segudang cerita yang berakhir di dunia maya dan hardisk. Rencana membukukan perjalanan pun tertunda dengan segudang alasan.

photo_2017-07-24_17-34-26.jpg

Kumpulan alasan yang akhirnya menjadi kerak dan menyumbat isi otak. Seringkali aktifitas memotret malah menjadi “template” karena merasa sudah mengerti bagaimana membuat foto yang bagus. Hanya foto bagus yang bisa dipakai untuk keperluan media, atau klien. Kreatifitas yang digerakkan oleh passion, idealisme dan rasa ingin tahu perlahan terkikis.

Continue reading

RASIS! PENGKHIANAT! MISKIN MORAL!

20150820 Launching Buku SID 20 tahun - Rudolf Dethu_ANG_9481

Rasis – Pengkhianat – Miskin Moral: SID Book Launch by Rudolf Dethu

Awal tahun 2003 di Surabaya, mereka pernah dilempari botol, air kencing dibungkus plastik, kursi, ember saat trio Superman Is Dead bermain di atas panggung tanpa barikade dan petugas keamanan yang hanya sedikit. Dianggap band eksklusif, banyak permintaan yang ribet, pengkhianat genre musik punk yang anti mapan karena masuk major label hingga isu anti jawa yang hampir mematahkan semangat bermusik Bobby, Jerinx dan Eka.

Continue reading

Catatan Pameran “Air Dalam Simbol”

20150820 DFF Air - Instalasi Pameran Air Dalam Simbol_ANG_2467

Mas Agus melihat-lihat karya foto “Terbalik” milik Johannes P. Christo

Simbol

Saya selalu kagum bagaimana orang Bali menginterpretasikan simbol semesta dalam gerak, suara, visual, konsep, filosofi dan ritual. Warna yang dinamis, bentuk persembahan bagaikan instalasi seni yang dikerjakan setiap hari oleh pemujanya yang memiliki kedalaman makna. Semua tampak eksotis hingga dianggap menjadi surga terakhir bagi para pelancong dari negeri lain. Begitu terkenal dan mendunia, melebihi negara asalnya, Indonesia.

Mengutip dari catatan Cok Sawitri (penulis, seniman, budayawan dan kawan baik) POTRET BALI MASA KINI DI ‘MEDAN TEMPUR SIMBOLIK’ dengan pertanyaan/ kegelisahannya:

  • Bagaimana kemudian hamburan hasil jepretan tukang potret di era digital, yang berupaya membawa potret-potretnya itu terbebas dari sekedar membekukan memori pribadi menjadi alat komunikasi yang berdampak luas ?
  • Menjadi duta gagasan-gagasan mengenai problem kehidupan yang dihadapi Bali ?
*catatan Cok Sawitri selengkapnya bisa dibaca disini : https://anggaramahendra.wordpress.com/2015/08/20/catatan-cok-sawitri-pada-pameran-air-dalam-simbol/

Kita cenderung masuk dalam buaian warna-warni Bali, eksotisme visual yang menggoda sehingga lupa untuk bercerita. Sudah berapa banyak perubahan yang terjadi? Apa kita sudah cukup baik mendokumentasikannya?

Continue reading

Catatan Cok Sawitri Pada Pameran “Air Dalam Simbol”

Cok Sawitri sebelum mementaskan Arja Siki di Festival Nusantara, Batur, 16/08/15

Cok Sawitri sebelum mementaskan Arja Siki di Festival Nusantara, Batur, 16/08/15

POTRET BALI MASA KINI DI ‘MEDAN TEMPUR SIMBOLIK’

Cok Sawitri

Potret! Bagi tukangnya diyakini dapat menyampaikan perasaan-perasaan terdalam dari suatu peristiwa. Menjadi bentuk komunikasi penting dalam kemasakinian. Peristiwa adalah proses meluas, tidak henti pada detik pembekuan sebagai sebuah potret. Tantangannya mungkin terletak di sana: pada pembekuan peristiwa, bagi tukang potret yang hendak mendorong potret memasuki jajaran karya seni, menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan kedalaman dibalik sebuah peristiwa. Potret adalah medan tempur bagi para tukangnya.

Di era digital saat ini, seni memotret dan potret seni memasuki fase kerumitan untuk dipahami, sama rumitnya dengan pasar saham dalam hubungan globalisasi. Dengan cepat perpindahan potret dari satu tempat lain,wilayahkewilayahyangberpencardapat terjadi dalam hitungan detik melalui jaringan internet. Kemudahan memiliki peralatan memotret menghadirkan kemudian barisan potret yang jumlahnya berpindah tidak lagi dalam hitungan puluhan menit ataukah jam, namun dapat terjadi dalam sedetik memasuki jumlahribuandidepanmataseseorangyang tengah berada di kamar pribadinya.

Bali sejak abad 18-an telah bersentuhan dengan tukang potret. Potret-potret mengenai Bali di masa lampau dari jepretan

pelanconganpenelitidanwartawankalaitu yang mendapat kesempatan mengunjungi daerah-daerah jajahan dalam koloni-koloni, menghasilkan potret-potret yang bicara apa saja mengenai Bali dari era lampau. Dibaca pada era masa kini dengan pengamatan individual melalui persebaran jaringan media sosial. Satu sifat reaksi yang lahir dari era digital adalah lahirnya keanekaragaman tanggapan. Hingga derajat tertentu, muncul pertanyaan bagaimana penghargaan upaya- upaya dikelampauan untuk menyampaikan peristiwa di sebuah pulau kecil, kini dibaca oleh generasi masa kininya, yang juga kini dapat kekuatan yang sama mendistribusikan potret mengenai Bali dalam berbagai rupa dan kejadian dalam kecepatan sama (?)

Bali masa kini dalam potret terbentang luas memberi kesempatan untuk diamati sebagai pertanda kebebasan untuk berbagi, menggambarkan dan kesiapan untuk dalam tanggapan-tanggapan yang beragam. Umumnya tukang potret dari era “hitam putih’, dengan kamera manual, memberi ingatan bagi masyarakat adalah betapa jayanya jenis ‘pas photo’ dari masa ke masa, menjadi salah satu gambar yang dibaca secara serentak memberi gambaran bahwa potret setengah badan ini memasuki wilayah peristiwa legalisasi dari KTP, Ijazah, Akte perkawinan, menjadi kelengkapan

Continue reading

Dunia Tanpa Batas

20150706 Smartfren Andromax Review_ANG_3978

Internet mengubah pola hidup manusia, termasuk bagaimana cara berinteraksi satu manusia ke manusia lainnya.

Saya tidak menggunakan pepatah “malu bertanya sesat di jalan” saat bepergian jauh, karena sekarang sudah ada smartphone, Google Maps dan koneksi internet. Peralatan canggih ini berhasil membawa saya menempuh 1300 kilometer perjalanan Bali – Jakarta dengan  motor tua keluaran tahun 73.

Continue reading

Kami Gila!

Kemot di Ibukota, Jakarta. Jumat (28/11/2014).

Perjalanan 1200-an kilometer dari Bali – Jakarta bersama Si Kemot seperti menjadi syarat khusus bagi orang lain menyandangkan gelar “gila” pada saya. Bagaimana tidak, motor berumur 40 tahunan masih saya bawa berkeliling melintasi jalur Pantura bersama truk, bis dan kendaraan lainnya. Satu harinya menempuh 350-450 kilometer.

Continue reading

Aku Disini

anggaramahendra_catatan visual_01

Kaki bersila dengan tangan kiri menapak lantai bermotif bunga yang trendi di masanya. Menenggak air beraroma lemon dan alkohol pemberian Bang Oscar yang sukses ‘menggoyang’ duniaku.

“Yah… aku disini…”

Berbagai cerita visual yang disuguhkan dalam gedung lama bernafas baru sebagai galeri foto kulewatkan begitu saja. Dulu ada 1200-an kilometer yang memisahkan, tapi detik ini, aku ada disana menikmati catatan visual “Perjalanan ke Tanah Leluhur Danau Sentarum”.

Continue reading

Selamat datang di Rimba

ANG20140228_jakarta_day 09_135

Otak dipenuhi oleh impian-impian yang  terwujud begitu saja di pulau yang terkenal dengan matahari terbenamnya.

Lupa diri, lalu kesulitan beranjak dari sofa yang sangat empuk.

Kaki terasa berat, tangan sulit menggapai tantangan yang dulunya menyenangkan.

Lalu, alam bawah sadar mulai bangkit dan tidak memberi banyak waktu untuk berpikir.

Continue reading

Potret Pak Atim

pak atim_02

Matanya berbinar, bibirnya mulai memperlihatkan gigi kecoklatannya. Dia tersenyum memandang lembaran kertas foto berukuran 13×9 cm yang baru saja kuberikan. Disana aku merekam potret Pak Atim yang duduk diatas motor Honda tahun 70-an dengan latar belakang dua motor bertipe sama, tapi beda warna.

pak atim_01

Foto ini kuambil beberapa hari yang lalu saat Kemot, Honda tahun 70-an ku berkenalan dengannya oleh bantuan Igun, sahabat motor tua. Entah kenapa semakin mengenal fotografi dan bergelut didalamnya justru membuat banyak kekosongan dalam diri. Mungkin karena jenuh, atau kepuasan mendapatkan foto bagus sudah tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Fotografi ku tidak memberikan dampak atau manfaat untuk orang lain!

pak atim_03

Tapi saat memotret Pak Atim dan mendengar “terima kasih” yang terucap dari mulutnya, ada kepuasan yang lebih! Foto 3R itu dilihatnya seperti harta karun, dipegangnya dengan erat dan antusias.

Dalam hati aku hanya bisa mengucap terima kasih” yang lebih besar. Bukan hanya karena Pak Atim rela hingga pukul 10 malam didepan bengkelnya menungguku mengambil si Kemot yang sudah selesai diperbaiki, namun karena senyum dan tatapan matanya yang memberiku energi positif.

Sudah seberapa banyak fotografi ini berguna untuk orang lain? Setidaknya untuk membuat orang lain tersenyum…

Si Jubah Oranye

ANG20140109_kuta_benesari_beachwalk_pantai kuta_87 (1)

 

 

 

 

 

9 Januari 2014.

Disebelah kami guide lokal selalu menebar senyum kepada setiap orang  yang melintas, sesekali dengan gaya sok akrabnya dia berhasil menghentikan langkah wisatawan untuk ber basa-basi. Biasanya akan berakhir pada tawaran paket atau jasa transportasi untuk melihat eksotisme Bali.

Sementara kami (saya dan Erwin Sitorus) sedang asyik berwacana tentang fotografi Bali dan printilannya. Sebotol minuman mineral menemani obrolan yang ternyata cukup menarik, mulai dari street photography, Sidewalkers.asia hingga Bali Spirit Festival. Ditengah obrolan, saat berusaha menikmati suasana hampir sunset itu, aku melihat laki-laki agak gemuk dengan rambut tipis yang berjalan mengenakan jubah oranye sambil membawa mangkok kecil berwarna keemasan.

Fuji X100 yang saat itu berada di meja bundar langsung kuambil dan setting seadanya dalam waktu kurang dari 2 detik, dan Snap! Foto pertama Bante sudah terekam dalam otak digital SDHC.

Dia perlahan menghampiri dan menyodorkan cawan yang berisi uang pecahan Rp 100 ribu, 10 ribu hingga recehan. Kami “ngeh” dengan bahasa tubuhnya hingga memberinya uang Rp 10 ribu dan recehan. “Untuk bekal jalan lahh” maksudku dalam hati…

 

Bante itu kemudian menuju sekelompok orang yang juga duduk di minimarket dan memberikan gestur yang sama. Beberapa memberinya uang dan saat itu juga aku berusaha mengambil fotonya lagi. Laki-laki ini memiringkan badannya lalu berjalan ke arahku…

ANG20140109_kuta_benesari_beachwalk_pantai kuta_88

Bahasanya tidak kumengerti, sepertinya dia pun nggak ngerti bahasa Inggris dan menggunakan bahasa tubuh.

Jadi begini bahasa tubuhnya:

“Menunjuk ke uang Rp 100 ribu – menunjuk ke mukaku – membuat gestur orang memotret – lalu wajah dan tangannya kembali menunjuk uang Rp 100 ribu di cawannya”

Aku bengong…
Apa maksudnya one picture one hundred thousand rupiahs?

“Bante ini beneran nggak sih? kok matre?” kataku dalam hati.

Tanah

WP_anggaramahendra_swalayan_1

20 Agustus 2013.

Halaman twitter @Balebengong sempat mendapat informasi ketegangan suasana di Sesetan, begitu pula teman di Facebook yang menceritakan bagaimana gas air mata yang dilempar ke arah swalayan, namun terbawa angin hingga mengenai Sekolah Dasar di sebrangnya. Anak-anak pun menangis, panik dan berhamburan keluar sekolah.

Meski waktu makan siang sebentar lagi, Francesco Zizola  masih menjelaskan materi terakhirnya tentang Noor Images. Iya atau tidak, berangkat atau nggak? Sedikit berbisik ke Vifick dan meminta tolong untuk mengurusi workshop yang masih berlangsung.

Kurang lebih 30 menit perjalanan bersama motor tahun 70an dari arah Kuta menuju lokasi kejadian. Polisi masih memblokir jalan sekitar TKP dan mengatur lalu lintas. Masih banyak laki-laki kekar berbaju gelap di sekitar Swalayan Karya Sari di Jalan Pulau Saelus dengan memasang muka serius, meski sesekali bercanda dengan bekas luka di tubuh. Bekas gas air mata masih terasa di sekitar area yang berantakan karena ratusan laki-laki kekar itu sempat bentrok dengan kurang lebih 150 personil polisi yang bertugas menyita lahan yang menjadi sengketa antara Dr. Nyoman Handris Prasetya yang diklaim milik keponakannya, Putu Yudistira.

Continue reading